BASIC PSYCHOLOGICAL FEATURES IN CYBERSPACE
MEDIA DISRUPTION (Gangguan
Media)
Kita semua mengharapkan komputer dan internet kita
berinteraksi dengan kita. Namun demikian, tidak peduli betapa kompleks dan
canggihnya alat elektronik, akan selalu ada saat-saat ketika mereka gagal untuk
hidup sampai akhir dari tawar-menawar mereka. Akan ada saat-saat ketika
perangkat lunak dan perangkat keras tidak berfungsi dengan baik, ketika suara
mengganggu komunikasi, dan koneksi terputus. Akan ada saat-saat ketika sistem
telekomunikasi tidak memberi kita apa-apa, bahkan tidak ada pesan kesalahan. Rasa
frustrasi dan kemarahan yang kita alami sebagai reaksi terhadap kegagalan ini
mengatakan sesuatu tentang hubungan kita dengan mesin dan internet kita –
sesuatu tentang ketergantungan kita pada mereka, kebutuhan kita untuk
mengendalikan mereka.
Berselancar di internet memang kegiatan yang sangat
digemari orang. Upload berbagai macam foto, download video, chatting dengan
teman dan hal lainnya seperti browsing, bertukar Line,
atau Skype.
Namun, kegiatan tersebut akan berubah menjadi
menjengkelkan ketika koneksi internet tiba-tiba menjadi lambat. Berikut ini
adalah beberapa hal yang menyebabkan koneksi internet menjadi lambat :
1.
Kekuatan sinyal dari provider.
2.
Membuka banyak tabs dalam waktu yang bersamaan juga
berpengaruh terhadap lambat tidaknya koneksi internet.
3.
Banyak pengguna paling sering menggunakan internet
pada saat sore hingga malam hari.
4.
Adanya pembatasan pemakaian dari pihak provider.
Ericsson melalui ConsumerLab-nya mempublikasikan
sebuah riset bertajuk “The Stress of Streaming Delays”. Para responden
dibagi menjadi tiga kelompok yang diberi gawai dan sebuah pekerjaan dengan
modal jaringan internet tanpa gangguan, dengan gangguan jaringan tingkat
menengah, dan gangguan jaringan tingkat tinggi.
Tujuan penelitian ini untuk mengetahui respons
responden dari ketiga situasi di atas. Pendekatan yang dipakai adalah studi
neurosains sehingga peneliti memantau aktivitas otak, gerakan mata, dan nadi
responden selama mereka berselancar ke beberapa situs web dan menonton video klip.
Mereka juga mengukur persepsi responden operator jaringan internet yang dipakai
sebelum dan sesudah dilaksanakannya penelitian.
Hasilnya menunjukkan, penundaan dalam memuat sebuah
laman dan video meningkatkan level detak jantung dan stres responden. Rata rata
dalam sekali penundaan akan menghasilkan 38 persen peningkatan detak jantung.
Sedangkan untuk stres, partisipan telah menunjukkan stres sejak awal memegang
gawai sebab salah satu perintahnya yakni menuntaskan sebuah pekerjaan dengan
waktu yang terbatas. Dalam pelaksanaannya, penundaan-penundaan dalam akses
internet membuat tingkat stresnya lebih tinggi lagi.
Stres sebesar 13 persen bahkan tetap ada pada kelompok
responden yang jaringan internetnya lancar jaya. Untuk kelompok kedua dengan
penundaan tingkat menengah, tingkat stres di awal penelitian sudah mencapai 16
persen. Setelah penundaan-penundaan selama dua detik di sisa penelitian tingkat
stresnya naik menjadi 31 persen. Sementara itu di kelompok dengan tingkat
penundaan paling tinggi sudah merasakan kenaikan tingkat stres sebesar 19
persen di awal riset. Di sisa riset dengan penundaan-penundaan hingga 6 detik,
tingkat stresnya sudah mencapai 34 persen.
Stres barangkali akan selalu jadi harga yang mesti
dibayar mereka yang tak bisa hidup tanpa internet. Hidup tanpa internet? Apakah
bisa? Nielsen, lembaga riset media dan ekonomi asal Inggris, pernah merilis
laporan yang menyebutkan bahwa kebanyakan konsumen di dunia merasa gelisah jika
berada jauh dari gawainya, dari medsosnya, dari dunia sekundernya.
Dalam laporan yang dirilis pada Oktober 2016 tersebut,
Nielsen menyatakan bahwa 56 persen konsumen global tidak dapat membayangkan
hidup tanpa perangkat ponsel pintarnya. Kemudian, dijelaskan pula bahwa 53
persen konsumen global merasa tidak tenang jika berada jauh dari perangkat
mobile mereka. Bahkan, 70 persen konsumen global merasa perangkat mobile
membuat hidup mereka menjadi lebih baik.
Sumber :
0 comments:
Posting Komentar